Modernisasi


BAB II
ISLAM DAN MODERNISASI DARI PERSPEKTIF FAZLURAHMAN

A.    Esensi Islam
Pengertian Islam secara harfiyah artinya damai, selamat, tunduk, dan bersih. Kata Islam terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim) yang bermakna dasar “selamat” (Salama). Dari pengertian Islam secara bahasa ini, dapat disimpulkan Islam adalah agama yang membawa keselamatan hidup di dunia dan di akhirat (alam kehidupan setelah kematian).Islam juga agama yang mengajarkan umatnya atau pemeluknya (kaum Muslim/umat Islam) untuk menebarkan keselamatan dan kedamaian, antara lain tercermin dalam bacaan shalat sebagai ibadah utama yakni ucapan doa keselamatan "Assalamu'alaikum warohmatullah" semoga keselamatan dan kasih sayang Allah dilimpahkan kepadamu sebagai penutup shalat.[1]
Pengertian Islam menurut bahasa, kata Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata aslama ini.Ditinjau dari segi bahasanya, yang dikaitkan dengan asal katanya (etimologis), Islam memiliki beberapa pengertian, sebagai berikut:
1. Islam berasal dari kata ‘salm’.
As-Salmu berarti damai atau kedamaian. Firman Allah SWT dalam Alquran, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian (lis salm), maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.  Al Anfal : 61).Kata ‘salm’ dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Ini merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan agama yang mengajarkan umatnya untuk cinta damai atau senantiasa memperjuangkan perdamaian, bukan peperangan atau konflik dan kekacauan."Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”   (QS. Al Hujarat : 9).Sebagai salah satu bukti Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi perdamaian adalah Allah SWT melalui Alquran baru mengizinkan atau memperbolehkan kaum Muslimin berperang jika mereka diperangi oleh para musuh-musuhnya.“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj : 39).
2. Islam Berasal dari kata ‘aslama’
Aslama artinya berserah diri atau pasrah, yakni berserah diri kepada aturan Allah SWT.Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam merupakan seseorang yang secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah SWT. Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa yang Allah perintahkan serta menjauhi segala larangan-Nya.“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya (aslama wajhahu) kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. An-Nisa : 125)Sebagai seorang muslim, sesungguhnya kita diminta Allah untuk menyerahkan seluruh jiwa dan raga kita hanya kepada-Nya.“Katakanlah: “Sesungguhnya salatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An'am : 162) Karena sesungguhnya jika kita renungkan, bahwa seluruh makhluk Allah baik yang ada di bumi maupun di langit, mereka semua memasrahkan dirinya kepada Allah SWT, dengan mengikuti sunnatullah-Nya.“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran : 83)
1.     Islam Berasal dari kata istaslama–mustaslimun
Istaslama–mustaslimun artinya penyerahan total kepada Allah SWT. Firman Allah SWT dalam Alquran:“Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” (QS As-Saffat : 26) Makna ini sebenarnya sebagai penguat makna di atas (poin kedua). Seorang Muslim atau pemeluk agama Islam diperintahkan untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raga serta harta atau apa pun yang dimiliki hanya kepada Allah SWT."Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 208).[2]
B.    Pengertian Modernisasi
Modernisasi adalah mangubah kebiasaan – kebiasaan, kepercayaan, keyakinan – keyakinan atau hal serupa dengan itu untuk disesuaikan dengan perkembangan yang disebabkan teknologi dan ilmu pengetahuan. Modernisasi ini artinya ialah proses perubahan keadaan dari cara-cara tradisional ke cara-cara yang lebih baru yang dengan harapan dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Modernisasi adalah bentuk perubahan sosial terarah dan terencana. [3]


Berikut ini adalah beberapa pengertian modernisasi menurut para ahli, diantaranya yaitu :

1.     Widjojo Nitisastro

Modernisasi adalah suatu proses transformasi total dan kehidupan bersama yang tradisional atau juga pra-modern dalam arti atau konteks teknologi dan juga organisasional.

2.     Soerjono Soekanto

Modernisasi adalah suatu bentuk perubahan sosial yang dilakukan secara terarah berdasarkan kepada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan dengan social planning.

3.     Wilbert E Moore

Modernisasi dapat diungkapkan sebagai suatu transformasi total kehidupan bersama yang tradisional ke arah-arah pola yang lebih ekonomis dan strategis yang menjadi ciri negara barat yang stabil.
a.     Syarat Modernisasi
Modernisasi pada hakikatnya itu mancakup bidang-bidang yang sangat banyak. Syarat-syarat suatu modernisasi itu diantaranya sebagai berikut:
  1. Cara berpikir yang ilmiah yang melembaga didalam kelas penguasa ataupun juga masyarakat.
  2. Sistem administrasi negara yang baik, yang betul-betul mewujudkan birokrasi yang baik, jauh dari KKN, dan juga semangat kerja yang tinggi.
  3. Adanya sistem pengumpulan data yang baik serta juga teratur juga terpusat dalam suatu lembaga atau badan tertentu. Contohnya seperti BPS (Badan Pusat Statistik) yang menjadi sumber data untuk pemerintah.
  4. Penciptaan iklim yang favorable (kondusif) didalam masyarakat terhadap modernisasi yakni dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
  5. Kedisiplinan yang tinggi, namun tetapi tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara.
  6. Sentralisasi wewenang didalam suatu pelaksanaan perencanaan sosial (social planning)

b.     Ciri- Ciri Modernisasi

Modernisasi tidak terjadi langsung dalam kehidupan masyarakat, suatu keadaan dianggap modernisasi jika memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. Tingkat organisasi yang tinggi, terutama disiplin diri sendiri
  2. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial
  3. Sistem administrasi yang baik, dapat mewujudkan reformasi birokrasi yang mumpunyai
  4. Adanya sistem pengumpulan data yang teratur
  5. Cara berfikir ilmiah melembaga ke dalam hidup penguasa maupun masyarakat
  6. Penciptaan iklim yang dapat disenangkan dari masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.[4]
Ciri dari modernisasi ini dibedakan ke dalam 2 kelompok, diantaranya:

1.     Aspek sosial Demografis

Aspek sosial Demografis disebut juga dengan aspek mobilitas sosial yang merupakan proses perubahan unsur sosial, ekonomis, dan psikologis masyarakat yang menunjukkan peluang untuk berubah kearah yang lebih modern seperti contohnya urbanisasi, mekanisasi, serta juga peningkatan pendapatan per kapita.

2.     Aspek Struktur Organisasi Sosial

Aspek struktur Organisasi adalah unsur dan norma kemasyarakatan yang terwujud apabila manusia mengadakan hubungan antara sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat, selain itu, dapat berhubungan dengan lembaga kemasyarakatan, norma sosial, pelapisan sosial, kekuasaan, serta wewenang dan juga interaksi sosial.
Dibawah ini akan dijelaskan dampak positif dan negatif dari modernisasi, diantaranya sebagai berikut :
1. Dampak Positif
  1. Perubahan tata nilai dan sikap, perubahan ini terjadi dalam masyarakat yang terbukti dari adanya pola dari berpikir yang berubah dari irasional kearah rasional.
  2. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan berkembangnya hal ini, masyarakat lebih mudah beraktivitas dan mendorong untuk berpikir maju.
  3. Perkembangan ilmu pengetahuan juga semakin membentuk dalam proses modernisasi.
  4. Tingkat kehidupan yang lebih baik, penggunaan teknologi pengetahuan yang berkembang dapat meningkatkan fungsi kehidupan dan penghidupan masyarakat menjadi jauh semakin baik dari waktu ke waktu.
2.     Dampak Negatif
  1. Kesenjangan sosial, hal ini dapat dilihat dengan adanya fenomena timbulnya kelompok sosial seperti kelompok asongan, pengangguran, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Selain itu, modernisasi juga semakin memperkuat jurang pemisah antara yang berpendidikan dengan yang tidak, dan modernisasi dapat menyebabkan berubahnya tatanan sosial dalam masyarakat
  2. Kesenjangan ekonomi, dapat dilihat dari adanya jurang antara si kaya dan si miskin, timbulnya budaya konsumen, timbulnya budaya demonstration effect (suka pamer), dan sebagainya
  3. Pencemaran lingkungan alam, dengan adanya pembangunan macam pabrik industri, maka tidak dapat terhindarkan lagi pencemaran lingkungan di sekitar lingkungan pabrik tersebut yang merupakan hasil pengolahan barang industri.
  4. Timbulnya kriminalitas, dikarenakan adanya keinginan setiap orang untuk mengungguli orang lain, yang dilakukan berbagai macam cara, termasuk cara kriminal.[5]
C.    Perspektif Fazlurrahman Mengenai Modernisasi
1.     Biografi Singkat Fazlurrahman
Fazlur Rahman dapat dikategorikan sebagai salah satu pemikir neomodernis yang paling serius dan produktif dewasa ini. Ia dilahirkan pada tanggal 21 September 1919 dan meninggal 26 Juli 1988 di Hazara, suatu daerah di Anak Benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di barat laut Pakistan. Wilayah Anak Benua Indo-Pakistan sudah tidak diragukan lagi telah melahirkan banyak pemikir Islam yang cukup berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ahmad Khan, hingga Sir Muhammad Iqbal.
Fazlur Rahman dilahirkan dalam suatu keluarga Muslim yang sangat religius. Ia dibesarkan dalam suatu keluaraga dengan tradisi keagamaan mazhab Hanafi yang cukup kuat. Oleh karenanya, sebagaimana diakuinya sendiri bahwa ia telah terbiasa menjalankan ritual-ritual agama, seperti shalat dan puasa secara teratur sejak masa kecilnya dan tidak pernah meninggalkannya.[6]

2.     Sumbangsi Pemikiran Fazlurrahman Terhadap Modernisasi Pemikiran Islam
Mayoritas muslim beranggapan bahwa ketika seorang muslim melihat pada peristiwa di masa lalu seperti beberapa titik puncak prestasi intelektual Muslim selama masa Abbasiyah yang apabila diciptakan kembali dan ditiru, kondisi yang sama di masa lalu akan menghasilkan kembali kondisi ideal untuk kebangkitan masa lalu atau sesuatu yang sama di saat ini. Jarak waktu itu telah menciptakan ilusi intelektual layaknya jarak ruang yang menimbulkan ilusi inderawi.
Berawal dari kegelisahan paling mendasar dari seorang Fazlur Rahman, yang pasti juga dirasakan oleh banyak kalangan Muslim, yaitu kondisi di mana kaum Muslim telah menutup rapat-rapat pintu ijtihad, sehingga yang terjadi adalah stagnasi intelektual yang luar biasa. Rahman merasakan situasi ini sangat tidak kondosif untuk mengetengahkan Islam sebagai agama alternatif di tengah gelombang perubahan zaman yang kian dinamis. Tertutupnya pintu ijtihad misalnya yang dianggapnya telah mematikan kreatifitas intelektual umat yang pada awal-awal sejarah umat Islam tumbuh begitu luar biasa. Pada akhirnya Islam menjadi seperangkat doktrin yang beku dan tentu sulit untuk tampil memberi jawaban-jawaban atas problem keummatan di tengah gelombang modernitas. Penutupan pintu ijtihad ini, secara logis mengarahkan kepada taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan bi la kaifa terhadap doktrin madzab-madzab dan otoritas-ororitas yang telah mapan. Dalam memberlakukan sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan Sunnah nabi. Umat Islam mengembangkan suatu sikap yang kaku lewat pendekatan-pendekatan historis, literalistis dan atomistis.[7]
Situasi seperti itu segera memancing reaksi dari para pembaharu Muslim untuk melakukan langkah-langkah “penyelamatan” terhadap ajaran Islam yang kian keropos oleh sejarah. Akan tetapi sebagaimana disaksikan oleh Fazlur Rahman, mereka dalam melakukan modernisasi umumnya metode yang digunakan dalam menangani isu-isu legal masih bertumpu pada pendekatan yang terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip takhayyur serta talfiq. Sementara mengenai istilah Rahman menyatakan: bahwa tekanan-tekanan yang datang dari gagasan modern dan kekuatan perubahan sosial, bersama-sama dengan pengaruh pemerintahan penjajah di negeri-negeri Muslim, telah menciptakan situasi dimana pengadopsian gagasan-gagasan Barat modern tertentu dan pranata-pranatanya dibela mati-matian oleh sebagian kaum Muslimin dan seringkali dibenarkan dengan memberikan kutipan-kutipan Al-Qur’an.
Penerapan metode ini tentu saja menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbriter dan self contra-dictory. Memungut fragmen-fragmen opini masa lampau yang terisolasi tanpa mempertimbangkan latar belakang kesejarahannya kemudian menyusunnya ke dalam sejenis mosaik yang tidak semena-mena dengan menyelundupkan di bawah permukaannya sebagai struktur ide yang dipinjam dari Barat tanpa mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensi. Ini jelas merupakan modernisasi yang artifisial dan tidak realistis. Itulah sebabnya, seorang Josept Schacht menegaskan : “Yurispridensi dan legislasi Islam kaum modernis, agar dapat bersifat logis dan permanen, tengah membutuhkan suatu basis teoritis yang lebih tegar dan konsisten”.
Dalam iklim modernisasi yang lesu semacam ini Fazlur Rahman mencoba menawarkan seperangkat metodologi yang sitematis dan komprehensif, khususnya yang terkait dengan penggalian terhadap sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi. Tawaran Rahman dalam kajian hadis misalnya dengan menekankan pada pendekatan historis telah memberi angin segar terhadap arah modernisasi ajaran Islam yang lebih paradigmatis. Konsep-konsep pembaharuan Islam Fazlur Rahman mucul ini sebagai jawaban terhadap kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada gerakan-gerakan Islam yang mucul sebelumnya yaitu revivalisme pra-modernis, modernisme klasik dan neo-revivalisme.[8]
Demikian pula aliran pemikiran ini hadir untuk mengkritisi dan sekaligus mengapresiasi aliran-aliran pikiran Islam yang lain yang timbul sepanjang sejarah perjalanan umat Islam serta juga pemikiran yang berkembang di Barat. Di bawah pengaruh neo-revivalisme, tetapi juga merupakan tantangan terhadapnya, neo-modernisme muncul. Dan Rahman mengklaim dirinya sebagai juru bicara gerakan baru ini. Bagi Rahman, meskipun modernisme klasik telah benar dalam semangatnya, namun ia memiliki dua kelemahan mendasar yang menyebabkan timbulnya reaksi dalam bentuk neorevivalisme.
Kelemahan pertama, ia tidak menguraikan secara tuntas metodenya yang secara semi implisit terletak dalam menangani masalah-masalah khusus dan implikasi dari prinsip-prinsip dasarnya. Mungkin karena perannya selaku reformis terhadap masyarakat muslim dan sekaligus sebagai kontroversialis-apologetik terhadap Barat, sehingga ia terhalang untuk melakukan interprestasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam.[9]
Kelemahan kedua, masalah-masalah yang dipilihnya merupakan masalah-masalah di dunia Barat, sehingga terdapat kesan yang kuat bahwa mereka telah terbaratkan serta merupakan agen-agen westernisasi. Dua pendekatan dasar yang dilakukan Fazlur Rahman untuk pengetahuan modern telah dipakai oleh teoritisi Muslim modern sebelumnya;
1.       Bahwa memperoleh pengetahuan modern hanya dibatasi pada bidang teknologi praktis, karena pada bidang pemikiran murni kaum Muslimin tidaklah memerlukan produk intelektual Barat, bahkan produk tersebut haruslah dihindari, karena mungkin sekali akan menimbulkan keraguan dan kekacauan dalam pemikiran Muslim, yang pada akhirnya sistem kepercayaan Islam tradisional telah memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan-pertanyaan puncak mengenai pandangan dunia.
2.       Bahwa kaum Muslimin tanpa takut bisa dan harus memperoleh tidak hanya teknologi barat saja, tapi juga intelektualismenya kerena tak ada satu jenis pengetahuan pun yang merugikan, dan bahwa bagaimanapun juga sains dan pemikiran murni dulu telah dengan giat dibudidayakan dengan kaum Muslimin terdahulu pada awal abad pertengahan, yang kemudian diambil alih oleh Eropa sendir, secara yakin terdapat berbagai nuansadari beberapa pandangan ini, dan posisi-posisi “tengah”, misalnya yang mengatakan di samping teknologi sains murni juga berguna akan tetapi pemikiran murni Barat modern tidak, atau pandangan yang lebih baru bahwa teknologi bahkan bisa merugikan tanpa pendidikan etika yang memadai.
Jelaslah bahwa pandangan yang pertama akan mendorong suatu sikap yang “dualistik” dan pada akhirnya akan menghasilkan kondisi pikiran yang “sekuler” yakni suatu dualitas kepada agama dan urusan dunia. Pendekatan yang pertama diyakini Fazlur Rahman sebagai jawaban yang tepat terhadap problem modernisasi dalam Islam. Gagasan bahwa teknologi modern yang “bermanfaat” dapat diperkenalkan pada suatu masyarakat sambil tetap bisa memelihara integritas tradisi masyarakat Islam tentu saja adalalah gagasan yang naïf. Tetapi justru bagi banyak kaum Muslimin gagasan tersebut masih merupakan respon standar, dan mereka yang berpandangan sebaliknya bahwa modernisasi teknologi dengan sendirinya melibatkan westernisasi besar-besaran.[10]
Yang ingin ditegaskan di sini untuk memutuskan dan memberikan arahan untuk lebih memperjelas masalah, pertama adalah ummat Muslim harus bisa membuat perbadaan antara Islam normatif dan Islam historis. Terkait dengan historisitas ini, Fazlur Rahman sedikit mengulas ungkapkan ”Gadamer” adalah bahwa sifat (kualitas wujud) yang ditentukan oleh sejarah masih menguasai kesadaran ilmiah dan kesadaran sejarah modern dan ini berada di luar pengetahuan yang mungkin mengenai penguasaan kita. Kesadaran sejarah demikian terbatas hingga keseluruhan wujud kita, yang tercapai dalam totalitas takdir kita, takterhindarkan lagi melampaui pengetahuan akan dirinya sendiri. Juga sesungguhnya sejarah bukanlah milik kita, tapi kitalah yang memiliki sejarah. Lama sebelum kita memahami diri kita dalam proses pemeriksaan diri, kita memahami dirikita dalam cara yang terbukti sendiri (Self Evident) dalam keluarga, masyarakat dan negara di mana kita hidup. Dan tugas ilmu penafsir filosofis adalah menjelaskan secara tepat prediterminasi ini, maka dengan demikian kontras antara metode historis dan dokmatis tidak mempunyai validitas yang mutlak.
Adapun Contoh Modernisme Islam Fazlur Rahman antara lain:
1.       Modernisasi Bidang Pendidikan
Awal mula pendidikan Islam adalah mempelajari Al Qur’an dan mengembangkan sebuah sistem kesalehan yang mengitarinya. Kegiatan ini telah dimulai sejak masa Nabi, namun dikemudian pada abad pertama dan kedua hijrahlah pusat-pusat pengkajian ilmu tumbuh dengan berpusat pada pribadi-pribadi yang menonjol. Guru-guru biasanya memberikan sertifikat atau izin (ijazah) kepada seorang murid untuk mengajarkan apa yang telah dipelajarinnya yang pada umumnya secara ekslulif berupa hafalan Al Qu’an, menyalin tradisi-tradisi Nabi dan para sahabatnya dan menyimpulkan pokok-pokok hukum daripadanya.
Ciri-ciri pokok yang di lakukan Fazlur Rahman dalam upaya memodernisasi pendidikan Islam pada dasarnya ada dua segi orientasi. Salah satu pendeatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umum di Barat dan mencoba untuk mengislamkannya, yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci dalam Islam. Pendekatan ini memeliki dua tujuan, walaupun keduanya tidak selalu bisa di bedakan antara satu dengan yang lainnya: Pertama membentuk watak pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa dengan nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat. Kedua untuk memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern memahami bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat yang lebih tinggi dengan menggunakan perspektif Islam.
Kedua pendekatan ini sangat berkaitan erat dengan arti bahwa pembentukan watak dengan nilai-nilai Islam yang secara wajar di lakukan terutama pada pendidikan tingkat pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam usia muda dan mudah menerima kesan. Akan tetapi apabila tidak ada sesuatu yang dilakukan untuk mewarnai pendidikan tingkat tinggi dengan orientasi Islam, atau apa bila usaha untuk melakukan hal itu tidak berhasil, maka niscaya pandangan merka berpotensi untuk tersekulerkan dengan kemungkinan yang lebih besar mereka akan membuang orientasi Islam apapun yang pernah mereka miliki. Dan ini memang telah terjadi dalam sekala yang luas. Mewarnai bidang-bidang kajian tingkat tinggi dengan nilai-nilai Islam yang dimaksud adalah ungkapan yang maknaya harus dibuat lebih jelas dan persis lagi. Seluruh pengetauan manusia dapat dibagi dengan apa sains-sains ”kealaman” atau ilmu eksakta yang generalisasinya disebut ”hukum-hukum alam” dan bidang-bidang pengetahuan yang disebut sebagai ”humanika” dan ”sains-sains sosial”.
Dengan modernisasi pendidikan Islam itu sendiri, karena hanya pengembangan-pengembangan ilmu pengetahuan keislamanlah yang harus memikul tanggung jawab utama untuk mengislamkan ilmu pengetahuan sekuler dengan upaya-upaya intelektal mereka yang kreatif. Jadi pada pokoknya seluruh ”modernisasi” pendidikan Islam adalah membuatya mampu untuk produktifitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterikatan yang serius pada Islam, yang pada umumnnya telah berhasil ditanamkan oleh sistem pendidikan madrasah, adalah alasan perluasan intelektual Muslim dengan cara menaikkan standar-standar intelektualnya. Karena perluasan adalah fungsi dari penaikan kepada ketinggian. Sebaliknya semakin mereka turun semakin sempit pula ruang yang terliput dan semekin mengecil wawasan kaum Muslimin. dan ini nampak kontras dengan dan mencolok antara sikap-sikap Muslim yang aktual dengan tuntutan Al Qur’an.
2.       Modernisasi Metodologi Tafsir
Rahman berpendapat bahwa pada hakikatnya Al-Qur’an adalah produk dan produsen  budaya, sebanding dengan peradaban manusia yang dapat berubah dan ditafsiri sekontektual mungkin sesuai dengan arus perkembangan zaman. Maka tafsir dalam rangka menghidupkan kembali nilai-nilai al-Qur’an harus bisa mentafsirkan dan merekonstruksi ulang gagasan kitab suci itu secara cerdas dan sesuai dengan semangat zaman kini.
Supaya kaum muslimin berhasil dalam menghadapi dunia modern sekarang maka kaum muslimin harus mengkaji Al-Qur’an sesuai konteks zaman sekarang. Dia menyayangkan karena ada beberapa kalangan ulama’ telah membakukan sedemikian rupa nash Al-Qur’an sehingga ajarannya kurang mengena dan kaku terhadap semangat zaman. Dan ada pula ulama yang telah mendikotomikan Al-Qur’an dengan realitas sosial sehingga ketika umat islam berhadapan dengan nash seakan-akan ada tembok pemisah antara teks yang sakral disatu sisi dan umat islam itu sendiri sebagai objek, sehingga untuk mengakhiri  problem ini dia menawarkan gagasan umat islam harus mampu dan berani menafsirkan “Al-Qur’an dan Sunah” secara cerdas dengan mempertimbangkan aspek sosial zamannya bukan pada metode klasik yang hanya memfokuskan pada aspek sosio cultural ketika Al-Qur’an diturunkan karena sebenarnya kemunduran umat islam sekarang antara lain disebabkan oleh pemahaman manusia terhadap Al-Qur’an yang terlalu tekstual.
Rahman menggunakan teori gerak ganda atau teori double movement yang ia prakarsai dalam memberi pandangan terhadap Alquran, khususnya terhadap ayat-ayat hukum.Teori ini merupakan suatu proses penafsiran yang ditempuh melalui dua gerakan (langkah) dari situasi sekarang ke masa Alquran diturunkan dan kembali pada masa sekarang.
a.       Situasi sekarang menuju ke masa turunnya Alquran
Maksud gerak pertama pada teori Rahman ini adalah menghendaki adanya pemahaman makna Alquran dalam konteks kesejarahannya baik secara spesifik di mana kejadian itu berlangsung (mikro) maupun secara global bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro). Hasil pemahaman ini akan dapat membangun makna asli (original meaning) yang dikandung oleh wahyu ditengah-tengah konteks sosial, moral era kenabian, sekaligus juga dapat diperoleh gambaran situasi dunia yang lebih luas pada umumnya saat ini. Penelitian dan pemahaman pokok-pokok semacam itu akan menghasilkan rumusan narasi atau ajaran Alquran yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistematik serta nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Di sinilah, peran penting konsep sebab turunnya ayat (asbãb an-nuzũl).
b.       Situasi dari masa turunnya Al-Qur’an kembali ke masa sekarang
Adapun yang dimaksud dengan gerak kedua ini adalah adalah upaya untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam konteks penafsiran pada era kontemporer sekarang. Untuk mempraktikan gerak kedua ini tentunya mensyaratkan sebuah pemahaman (analisis) yang kompleks terhadap suatu permasalahan.
Usaha Rahman dalam hal ini mencoba memperluas latar belakang perumusan metodologi dengan menegaskan bahwa selama ini kaum Muslimin belum pernah membicarakan secara adil masalah masalah mendasar mengenai metode dan cara penafsiran Al Qur’an. Menurut Rahman telah terdapat kesalahan yang umum dalam memahami pokok-pokok keterpaduan Al Qur’an. Dan kesalahan ini berpasangan dengan ketegaran praktis untuk berpegang pada Al Qur’an secara terpisah-pisah. Kegagalan memahami Al Qur’an ini sebagai suatu keterpaduan yang berjalan dan terjadi dalam bidang hukum, teologi maupun sufisme. Kegagalan ini berlanjut hingga sekarang ini. Rahman memandang suatu metodologi penafsiran Al Qur’an yang memadai, sebagaimana yang telah diusahakannya dalam memodernisasi metodologinya, yang dianggapnya sebagai sesuatu yang amat mendesak.
Rumusan metodologi tafsir yang sistematis telah dilakukan Fazlur Rahman semenjak di Chicago. Ia menekankan betapa pentingnya untuk memahami kondisi-kondisi aktual masyarakat Arab. Ketika Al Qur’an diturunkan dalam rangka menafsirkan pernyataan-pernyataan legal dan sosio-ekonomisnya. Pendekatan historis ini telah dianggabnya sebagi suatu metode tafsir yang dapat diterima dan bisa berlaku adil terhadap tuntutan entelektual atau integritas moral. “hanya dengan cara semacam inilah suatu apresiasi yang terjadi teadap tujuan-tujuan Al Qur’an dan Sunnah dapat dicapai”.[11]
Aplikasi pendekatan kesejarahan ini telah membuat Rahman menekankan pentingnya pembedaan antara tujuan atau “ideal moral” Al Qur’an dengan ketentual legal spesifiknya. Rahman menyebutkan bahwa “ideal moral” yang ditunjukkan oleh Al Quran lebih pantas diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifiknya. Misalnya dalam kasus poligami dan perbudakan Rahman mengungkapkan bahwa, “ideal moral” yang dituju Al Qur’an adalah monogami dan emansipasi budak, sementara penerimaan Al Qur’an terhadap kedua pranata tersebut secara legal dikarenakan “kemustahilan” untuk menghapusnya dalam seketika. Al Qur’an dan Sunnah Nabi selaras dengan situasi kontemporernya sesuai dengan “ideal moral” yanag di tuju kedua sumber ajaran Islam tersebut.
Sementara perumusan mengenai pandangan dunia Al Qur’an yang belakangan dinyatakan sebagai salah satu aspek dari oprasionalisasi metode tafsirnya, juga telah digarapnya pada masa ini. Rumusan dari metode penafsiran Fazlur Rahman dapat disimak dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada 1970. Kutipan (extenso) secara luas dari atikel tersebut memberikan gambaran tentang penekanan Rahman mengenai pentingnya usaha untuk menafsirkan kembali Islam dan rumusan awal dari metode tafsirnya beserta keunggulan-keunggulannya: Jika pembicara yang lantang dari kesinambungan kaum Muslimin tentang kelangsungan hidup Islam sebagai suatu sistem doktrin dan praktek dewasa ini benar-benar sejati (suatu masalah yang jawabannya tidak mudah ditetapkan) maka tampak jelas bahwa mereka harus memulai sekali lagi pada tingkat intelektual. Mereka harus secara terang-terangan dan tanpa perlu menahan diri membahas apa yang dikehendaki Islam untuk mereka lakukan dewasa ini. Seluruh kandungan Syari’ah mesti menjadi saaran pemeriksaan yang segar dalam sinaran bukti Al Qur’an.
Suatu penafsiran Al Quran yang sistematis dan berani harus dilakukan. Bahaya terbesar dalam pemikiran semacam ini, tentu saja adalah proyeksi ide-ide subyektif ke dalam Al Qur’an, menjadikannya obyek perlakuan yang artbitrer. Namun proyeksi ide-ide subyektif ini sebagian besar dapat diminimalkan. Suatu metodologi yang saksama untuk memahami dan menafsirkan Al Qur’an ada beberapa kreteria:
a) Suatu pendekatan historis dan jujur yang serius dan jujur, harus menemukan makna teks Al Qur’an. Aspek metafisis yang diajarkan Al Qur’anmungkin tidak menyediakan dirinya dengan mudah untuk dikenakan terapi historis. Tetapi bagian sosiologinya pasti menyediakan dirinya. Pertama Al Qur’an harus dipahami dalam tatanan kronologisnya. Mengawali dengan pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu yang paling awal akan memberikan suatu persepsi yang cukup akurat tentang dorongan dasar dari gerakan Islam. Sebagaimana yang dibedakan dari ketetapan-ketetapan dan pranata-pranata yang di bangun belakangan. Dan demikianlah seseorang harus mengikuti bentang Al Qur’an sepanjang karier dan perjuangan Muhammad. Metode historis ini akan banyak menyelamatkan kita ekstravagan dan artifisial penefsiran terhadap Al Qur’an di kalangan kaum modernis. Disamping menetapkan makna rinci-rinciannya, metode ini juga akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan dari pesan Al Qur’an dalam suatu cara yang sistematis dan koheren.
b) kemudian orang telah siap untuk membedakan ketetapan legal Al Qur’an dan saran-saran serta tujuan yang hukum-hukum ini diharapkan untuk mengabdi kepadanya. Skali lagi, seorang berhadapan dengan bahaya subyektifitas, tetapi hal ini juga dapat direduksi hingga batas minimun dengan menggunakan Al Qur’an. Sudah terlalu sering diabaikan oleh kalangan non Muslim maupun kaum Muslimin sendiri bahwa Al Qur’an biasanya memberikan alasan bagi bernyataan-pernyataan legal spesifiknnya. Kesaksian dua wanita ebagai pengganti seorang laki-laki mengapa? Agar supaya wanita yang satu dapat mengingatkan wanita yang lainnya apa bila ia melupakannya (QS 2: 282) ini merupakan suatu komentar yang jelas tentang latar sosiologis Arabia pada masa Nabi dan merupakan suatu desakan bahwa kesaksian yang benar harus di kemukakan sejauh mungkin.
c) sasaran-sasaran Al Qur’an harus difahami dan ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian sepenuhnya terhadap latar sosiologisnya, yakni lingkungan di mana Nabi bergerak dan bekerja. Hal ini akan mengakhiri penafsiran-penefsiran Al Qur’an yang subyektif. Baik oleh kalangan mufasir abad pertengahan atu modern, meskipun penafsiran-penafsiran ini tampak kohern dalam dirinya, jika seseorang dibatasi untuk tidak menyertakan obsesi-obsesi pribadinya ke dalam Al Qur’an.
Maka pendekatan semacam ini akan sangat bermanfaat, dan kami yakin merupakan harapan nyata satu-satunya bagi suatu penafsiran Al Qur’an yang berasil dewasa ini. Betapapun dalam pengertian makrokospik (sebagaimana yang bertentangan dengan perbedaan-perbedaan detail), seluruh perbedaan dan pendekatan terhadap kebenaran adalah subyektif, dan hal semacam ini tak dapat dihilangkan. Setiap pendapat memiliki sdut pandang, dan tidak ada bahayanya dalam hal ini asalkan pandangan-pandangan itu tidak mendistorsi obyek pandangan dan juga terbuka bagi visi-visi orang yang memandangnya.[12]























III
Penutup
1.     Kesimpulan
Islam adalah agama rahmatanlilalamin yang tentunya islam dan modernisasi tidak bertentangan karena Al – Qur’an selalu relevan sesuai zamannya. Fazlur Rahman yang melancarkan pembaharuannya melalui gerakan neomodernisme, yang bertujuan untuk meluruskan arah kebangkitan umat Islam sesuai dengan kehidupan modern tanpa meninggalkan akar kesejarahannya sendiri.
Fazlur Rahman berpendapat perlunya penafsiran Al-Qur’an yang memadai, dalam memahami Al-Qur’an, yang utama harus lebih ditekankan pada tujuan “ideal moral” dari pada “legal spesifik”. Tujuan ideal moral yang terkandung dalam ayat-ayat harus lebih diutamakan dari ketentuan legal spesifiknya. Selain itu, sasaran-sasaran al-Qur’an harus juga dipahami dan ditetapkan dengan memperhatikan latar belakang sosiologis.

2.     Implikasi
Saran saya sebagai pemakalah modernisasi itu diperlurkan utamanya dari segi teknologi karena itu akan mempermudah manusia dalam menjalankan aktivitasnya tapi jangan juga menghilangkan nilai moral yang diajarkan Agama karena ilmu pengetahuan dan Agama harus seimbang agar kita dapat mencapai kebahagian dunia dan akhirat.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku Sejarah Dunia yang di Sembunyikan karya Jonathan Black